BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Sexualitas Maskulin Dalam Budaya Jawa

2»

Comments

  • aluno wrote: »
    Ambigu wrote: »

    siap2 terjun ke lapangan... -,-

    up up upppppp
    @Ambigu ayo bikin dokumenter yang mantap ya cyiinnnnnn

    @aluno

    bujuknya dibayar pake tubuh ya cinnn...wkwkwk serem amir ....
  • @ambigu kl cucok bole donk jd gemblaknya kakakakakaa
    btw di boyzstory kl ga salah gua pernah baca cerita ttg gemblak deh.. prnh baca blum u?
  • Itu dulu. Sekarang semuanya harus serba arab. Jangankan warog ato fenomena masyarakat jawa asli di serat centhini, dbanding 90an, skarang gw ga pnah liat lg imam2 d masjid jogja pake baju tradisional jawa dg blangkon antiknya. Mereka punah,dan sekarang dah ganti dandanan, yang ada cuma orang2 berbaju putih, dg janggut panjang melambai2...

    ga cuma itu, kecendrungan penyempitan makna dan pengaburan antara "islami" dan "arabis" itu memang begitu daaaahsyaaaat

    di rohis-rohis harus pakai "ana/anta (ane/ente)/ antum" dkk.
    padahal itu arabis dan bukan islamis
    atau harus baju koko, dll.
  • jorse wrote: »
    Itu dulu. Sekarang semuanya harus serba arab. Jangankan warog ato fenomena masyarakat jawa asli di serat centhini, dbanding 90an, skarang gw ga pnah liat lg imam2 d masjid jogja pake baju tradisional jawa dg blangkon antiknya. Mereka punah,dan sekarang dah ganti dandanan, yang ada cuma orang2 berbaju putih, dg janggut panjang melambai2...

    ga cuma itu, kecendrungan penyempitan makna dan pengaburan antara "islami" dan "arabis" itu memang begitu daaaahsyaaaat

    di rohis-rohis harus pakai "ana/anta (ane/ente)/ antum" dkk.
    padahal itu arabis dan bukan islamis
    atau harus baju koko, dll.


    baju koko bukan arabis, tapi lebih ke budaya china
    namanya aja baju koko
  • pusing bacanya..... ada summary nya kah? :P
  • @vire_alert
    Jadi gini jeung ade raja PK gitu deh jeung nah trus suatu hari tuh raja ngundang dangdutan getoh...n si raja jadi horni liat sibiduannya. ya gitu deh jeung sibiduan dicelup dah sama si raja. Eh dasar ntuh raja sekali PK ya PK aja dia sosor juga pemain gendangnya. Tapiiiii...sangka tak sangka si raja pengen nyobain rasanya dicelup juga tapi ya empyun belum pembukaan sepuluh dia udah gak kuat. Udah ngertikan jeung?

    =)) =)) =))
  • @littlepigeon you DO know what i mean, even if technically i may just used a wrong word, the point is still the same.

    it's about being religious THROUGH symbolic, entrapped in practical means, and not the feeling itself.
    that's what i hate about it. for me, the real enlightment comes from within, not because what we wear or what we heard, it's about accepting what path we take, believing in it, understanding it, struggle in it, and use the physical means when necessary (read: costume or rituals)
    not the other way around.
  • Om, buku ini cerita dong

    (5).Syarifuddin, Mairil:
    Sepenggal Kisah Biru di
    Pesantren, Yogyakarta: Penerbit
    P_Idea, 2005.

    ??
  • Selama ini dunia pesantren dikenal sangat lekat
    dengan nuansa agama. Setiap
    pagi, siang, sore hingga malam hari kegiatan-kegiatan yang diajarkan di pesantren selalu berkaitan dengan (pendalaman) agama. Ngaji,tadarus, shalat berjamaah adalah beberapa kegiatan rutin di dalamnya. Namun, siapa yang mengira di balik kentalnya nuansa agama yang ada di pesantren
    ternyata menyimpan cerita-cerita
    miris yang sangat bertentangan
    dengan (doktrin) agama? Buku dengan judul Mairil, Sepenggal
    Kisah Biru di Pesantren yang ditulis oleh Syarifuddin ini mengungkap secara transparan perilaku-perilaku menyimpang di dunia pesantren, terutama yang berkaitan dengan penyimpangan seksual santri.
    Ibarat lokalisasi, pesantren sering
    dijadikan tempat untuk
    menyalurkan hasrat libido santri
    pada santri lain. Bedanya, kalau di lokalisasi berlaku hukum pasar, yaitu terjadi transaksi antara penjual dan pembeli. Di pesantren kegiatan itu dilakukan secara sembunyi- sembunyi atau dilakukan di tengah malam ketika “korban” sedang tertidur lelap. Yang lebih mencengangkan, praktik seperti ini dilakukan antarsesama jenis kelamin (laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan). Seks antarsesama jenis kelamin inilah yang menjadi titik tekan buku ini.
  • Menurut penulis, nyempet merupakan jenis atau aktivitas
    pelampiasan seksual dengan
    kelamin sejenis yang dilakukan
    seseorang ketika hasrat seksualnya
    sedang memuncak, sedangkan
    mairil merupakan perilaku kasih sayang kepada seseorang yang
    sejenis (hlm. 25).
    Perilaku nyempet terjadi secara
    insidental dan sesaat, sedangkan
    mairil relatif stabil dan intensitasnya
    panjang. Namun dalam banyak hal antara nyempet dan mairil
    mengandung konotasi negatif, yaitu
    sama-sama terlibat dalam
    hubungan seksual satu jenis
    kelamin.
    Kondisi sosiologis dunia pesantren dengan pembinaan moral dan
    akhlak secara otomatis interaksi
    antara santri putra dan putri begitu
    ketat. Keseharian santri dalam
    komunitas sejenis, mulai bangun
    tidur, belajar, hingga tidur kembali. Santri bisa bertemu dengan orang
    lain jenis ketika sedang mendapat
    tamu. Itu pun jika masih ada
    hubungan keluarga.
    Praktis, ketika ada di pesantren –
    terutama pesantren salaf (tradisional)– tidak ada kesempatan
    untuk bertemu dan bertutur sapa
    dengan santri beda kelamin.
    Di samping tempat asrama putra
    dan putri berbeda, hukuman yang
    harus dijalankan begitu berat, bisa- bisa dikeluarkan dari pesantren, jika
    ada santri putra dan putri ketahuan
    bersama. Kondisi seperti inilah yang
    menyebabkan perilaku nyempet di
    kalangan santri di pesantren begitu
    marak (hlm. 31).
  • Perilaku nyempet dan mairil biasnya
    dilakukan oleh santri tua (senior),
    tidak jarang pula para pengurus
    atau guru muda yang belum
    menikah. Dari hasil penelitian
    penulis, kegiatan nyempet hanya terjadi ketika masih menetap di
    pesantren tetapi ketika sudah lulus
    dari pesantren budaya seperti itu
    ditinggalkan.
    Terbukti, kehidupan mereka normal
    dan tidak ditemukan kasus mereka menjadi homo atau lesbi. Mereka
    semua berkeluarga dan mempunyai
    anak. Karena orang yang
    melakukan itu hanya iseng bukan
    tergolong homoseksual (bagi kaum
    laki-laki) atau lesbian (bagi kaum wanita). Mereka melakukan
    penyimpangan seks itu sekadar
    menyalurkan libido seksualnya yang
    memuncak.
    Umumnya yang menjadi korban
    nyempet dan mairil adalah santri yang memiliki wajah ganteng,
    tampan, imut, dan baby face.
    Hampir pasti santri (baru) yang
    memiliki wajah baby face selalu
    menjadi incaran dan rebutan santri-
    santri senior. Bahkan tidak jarang antara santri yang satu dan santri
    yang lain terlibat saling jotos, adu
    mulut, bertengkar (konflik) untuk
    mendapatkannya.
    Di pesantren berlaku hukum tidak
    tertulis yang harus dijalankan bagi orang yang memiliki mairil. Misalnya
    jika si A sudah menjadi mairil orang,
    maka si mairil tersebut akan
    dimanja, diperhatikan, diberi uang
    jajan, uang makan, dicucikan
    pakainnya, dan sebagainya; layaknya sepasang kekasih
    (pacaran). Jika si mairil dekat
    dengan orang lain pasti orang yang
    merasa memiliki si mairil tersebut
    akan cemburu berat.
  • Kelebihan buku ini adalah penulis mampu menceritakan pelaku
    nyempet dan mairil dalam suasana
    santai, kocak, tetapi serius. Gaya
    penulisanya bertutur hampir
    menyerupai novel. Misalnya ketika
    penulis menceritakan tentang santri bernama Subadar yang akan
    nyempet santri lain.
    Di beranda joglo masjid tanpa
    penerangan lampu, Subadar sambil
    berpura-pura tidur, terus merangsek
    mendekati santri yang masih kecil yang beberapa hari terakhir menjadi
    incarannya. “Harus bisa,” gumam
    Subadar dalam hati.
    Namun naas nasibnya kali ini, baru
    saja mulai angkat sarung korban,
    tiba-tiba lampu beranda joglo dinyalakan petugas piket yang
    seketika itu membuat Subadar
    terkejut bukan kepalang…
    Penulis buku ini tentu paham betul
    tentang budaya nyempet dan mairil
    yang ada di pesantren. Karena dia juga pernah mengenyam
    pendidikan di pesantren Wonorejo
    dan Jombang, Jawa Timur.
    Boleh dikatakan buku ini adalah
    hasil temuannya langsung saat dia
    hidup di dunia pesantren selama kurang lebih enam tahun lamanya.
    Membaca buku ini kita akan
    terkejut dan mengernyitkan dahi,
    “Ah yang bener aja.”
    Meski peristiwa yang diceritakan
    dalam buku ini lebih mengandalkan improvisasi penulis, pembaca bisa
    melacak sendiri bahwa peristiwa
    seperti ini dalam dunia pesantren
    (yang salafiyah), terutama saat
    malam menjelang, benar adanya.
    Atau boleh jadi mereka yang pernah dibesarkan di pesantren
    akan tersenyum kecut atau
    mengakui peristiwa kebenaran
    cerita ini.(Zamaahsari A. Ramzah:
    Mairil, Sepenggal Kisah Biru di
    Pesantren by Syarifuddin)
    *copas dari igama (ikatan gay malang)
Sign In or Register to comment.