It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@aluno
bujuknya dibayar pake tubuh ya cinnn...wkwkwk serem amir ....
btw di boyzstory kl ga salah gua pernah baca cerita ttg gemblak deh.. prnh baca blum u?
ga cuma itu, kecendrungan penyempitan makna dan pengaburan antara "islami" dan "arabis" itu memang begitu daaaahsyaaaat
di rohis-rohis harus pakai "ana/anta (ane/ente)/ antum" dkk.
padahal itu arabis dan bukan islamis
atau harus baju koko, dll.
baju koko bukan arabis, tapi lebih ke budaya china
namanya aja baju koko
Jadi gini jeung ade raja PK gitu deh jeung nah trus suatu hari tuh raja ngundang dangdutan getoh...n si raja jadi horni liat sibiduannya. ya gitu deh jeung sibiduan dicelup dah sama si raja. Eh dasar ntuh raja sekali PK ya PK aja dia sosor juga pemain gendangnya. Tapiiiii...sangka tak sangka si raja pengen nyobain rasanya dicelup juga tapi ya empyun belum pembukaan sepuluh dia udah gak kuat. Udah ngertikan jeung?
faham....
it's about being religious THROUGH symbolic, entrapped in practical means, and not the feeling itself.
that's what i hate about it. for me, the real enlightment comes from within, not because what we wear or what we heard, it's about accepting what path we take, believing in it, understanding it, struggle in it, and use the physical means when necessary (read: costume or rituals)
not the other way around.
(5).Syarifuddin, Mairil:
Sepenggal Kisah Biru di
Pesantren, Yogyakarta: Penerbit
P_Idea, 2005.
??
dengan nuansa agama. Setiap
pagi, siang, sore hingga malam hari kegiatan-kegiatan yang diajarkan di pesantren selalu berkaitan dengan (pendalaman) agama. Ngaji,tadarus, shalat berjamaah adalah beberapa kegiatan rutin di dalamnya. Namun, siapa yang mengira di balik kentalnya nuansa agama yang ada di pesantren
ternyata menyimpan cerita-cerita
miris yang sangat bertentangan
dengan (doktrin) agama? Buku dengan judul Mairil, Sepenggal
Kisah Biru di Pesantren yang ditulis oleh Syarifuddin ini mengungkap secara transparan perilaku-perilaku menyimpang di dunia pesantren, terutama yang berkaitan dengan penyimpangan seksual santri.
Ibarat lokalisasi, pesantren sering
dijadikan tempat untuk
menyalurkan hasrat libido santri
pada santri lain. Bedanya, kalau di lokalisasi berlaku hukum pasar, yaitu terjadi transaksi antara penjual dan pembeli. Di pesantren kegiatan itu dilakukan secara sembunyi- sembunyi atau dilakukan di tengah malam ketika “korban” sedang tertidur lelap. Yang lebih mencengangkan, praktik seperti ini dilakukan antarsesama jenis kelamin (laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan). Seks antarsesama jenis kelamin inilah yang menjadi titik tekan buku ini.
pelampiasan seksual dengan
kelamin sejenis yang dilakukan
seseorang ketika hasrat seksualnya
sedang memuncak, sedangkan
mairil merupakan perilaku kasih sayang kepada seseorang yang
sejenis (hlm. 25).
Perilaku nyempet terjadi secara
insidental dan sesaat, sedangkan
mairil relatif stabil dan intensitasnya
panjang. Namun dalam banyak hal antara nyempet dan mairil
mengandung konotasi negatif, yaitu
sama-sama terlibat dalam
hubungan seksual satu jenis
kelamin.
Kondisi sosiologis dunia pesantren dengan pembinaan moral dan
akhlak secara otomatis interaksi
antara santri putra dan putri begitu
ketat. Keseharian santri dalam
komunitas sejenis, mulai bangun
tidur, belajar, hingga tidur kembali. Santri bisa bertemu dengan orang
lain jenis ketika sedang mendapat
tamu. Itu pun jika masih ada
hubungan keluarga.
Praktis, ketika ada di pesantren –
terutama pesantren salaf (tradisional)– tidak ada kesempatan
untuk bertemu dan bertutur sapa
dengan santri beda kelamin.
Di samping tempat asrama putra
dan putri berbeda, hukuman yang
harus dijalankan begitu berat, bisa- bisa dikeluarkan dari pesantren, jika
ada santri putra dan putri ketahuan
bersama. Kondisi seperti inilah yang
menyebabkan perilaku nyempet di
kalangan santri di pesantren begitu
marak (hlm. 31).
dilakukan oleh santri tua (senior),
tidak jarang pula para pengurus
atau guru muda yang belum
menikah. Dari hasil penelitian
penulis, kegiatan nyempet hanya terjadi ketika masih menetap di
pesantren tetapi ketika sudah lulus
dari pesantren budaya seperti itu
ditinggalkan.
Terbukti, kehidupan mereka normal
dan tidak ditemukan kasus mereka menjadi homo atau lesbi. Mereka
semua berkeluarga dan mempunyai
anak. Karena orang yang
melakukan itu hanya iseng bukan
tergolong homoseksual (bagi kaum
laki-laki) atau lesbian (bagi kaum wanita). Mereka melakukan
penyimpangan seks itu sekadar
menyalurkan libido seksualnya yang
memuncak.
Umumnya yang menjadi korban
nyempet dan mairil adalah santri yang memiliki wajah ganteng,
tampan, imut, dan baby face.
Hampir pasti santri (baru) yang
memiliki wajah baby face selalu
menjadi incaran dan rebutan santri-
santri senior. Bahkan tidak jarang antara santri yang satu dan santri
yang lain terlibat saling jotos, adu
mulut, bertengkar (konflik) untuk
mendapatkannya.
Di pesantren berlaku hukum tidak
tertulis yang harus dijalankan bagi orang yang memiliki mairil. Misalnya
jika si A sudah menjadi mairil orang,
maka si mairil tersebut akan
dimanja, diperhatikan, diberi uang
jajan, uang makan, dicucikan
pakainnya, dan sebagainya; layaknya sepasang kekasih
(pacaran). Jika si mairil dekat
dengan orang lain pasti orang yang
merasa memiliki si mairil tersebut
akan cemburu berat.
nyempet dan mairil dalam suasana
santai, kocak, tetapi serius. Gaya
penulisanya bertutur hampir
menyerupai novel. Misalnya ketika
penulis menceritakan tentang santri bernama Subadar yang akan
nyempet santri lain.
Di beranda joglo masjid tanpa
penerangan lampu, Subadar sambil
berpura-pura tidur, terus merangsek
mendekati santri yang masih kecil yang beberapa hari terakhir menjadi
incarannya. “Harus bisa,” gumam
Subadar dalam hati.
Namun naas nasibnya kali ini, baru
saja mulai angkat sarung korban,
tiba-tiba lampu beranda joglo dinyalakan petugas piket yang
seketika itu membuat Subadar
terkejut bukan kepalang…
Penulis buku ini tentu paham betul
tentang budaya nyempet dan mairil
yang ada di pesantren. Karena dia juga pernah mengenyam
pendidikan di pesantren Wonorejo
dan Jombang, Jawa Timur.
Boleh dikatakan buku ini adalah
hasil temuannya langsung saat dia
hidup di dunia pesantren selama kurang lebih enam tahun lamanya.
Membaca buku ini kita akan
terkejut dan mengernyitkan dahi,
“Ah yang bener aja.”
Meski peristiwa yang diceritakan
dalam buku ini lebih mengandalkan improvisasi penulis, pembaca bisa
melacak sendiri bahwa peristiwa
seperti ini dalam dunia pesantren
(yang salafiyah), terutama saat
malam menjelang, benar adanya.
Atau boleh jadi mereka yang pernah dibesarkan di pesantren
akan tersenyum kecut atau
mengakui peristiwa kebenaran
cerita ini.(Zamaahsari A. Ramzah:
Mairil, Sepenggal Kisah Biru di
Pesantren by Syarifuddin)
*copas dari igama (ikatan gay malang)