It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
1. ketika seseorang yg kita sayangi merawat kita saat kita sakit. dan sebaliknya, ketika aku merawat dia ketika sakit.
2. kesederhanaannya.
3. iya. dan iya
Ah.. kurang puas.
Butuh essay panjaang
LGBT itu BUKAN penyakit mental/gangguan jiwa
Salah satu miskonsepsi terbesar adalah pandangan bahwa LGBT
merupakan sebuah penyakit, dan seringkali di-imbuhi dengan kata
'penyandang' atau 'pengidap'.
Pertama, harus dipahami dulu dari
dasarnya: apa sih penyakit itu? Kalau menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia ya, penyakit itu adalah 'sesuatu yang menyebabkan
terjadinya gangguan pada makhluk hidup'. Sementara gangguan
jiwa menurut Psikologi artinya 'suatu keadaan tidak beres yang
berhakikatkan penyimpangan dari suatu konsep normatif.'
Berarti ada 2 premis utama dari konsep penyakit mental/gangguan
jiwa:
a) adanya gangguan, dan
b) merupakan penyimpangan dari norma yang ada.
Saya mengerti sekali mengapa banyak orang Indonesia
menganggap LGBT sebagai penyakit, karena standar norma yang
digunakan adalah norma agama, dimana:
i) manusia diciptakan laki-laki dan perempuan dan tindakan seksual
hanya dimaknakan untuk lawan jenis dengan tujuan prokreasi, dan
ii) konsep tersebut mendefinisikan heteroseksualitas sebagai norma
dan preference lain di luar itu dianggap sebagai penyimpangan dan
gangguan.
Sanggahan saya terhadap pandangan tersebut adalah ini: definisi 'gangguan' menurut psikologi adalah ketika ada dampak terhadap
aspek pikiran (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), dan
tindakan (psychomotor). Mengapa ini adalah standar yang dipakai?
Karena psikologi melihat manusia sebagai individu dengan fungsi
biologis dan sosialnya, dan ini adalah norma yang paling objektif
untuk menilai gangguan jiwa, karena bebas dari subyektivitas
kultural.
Bayangkan kalau norma yang digunakan adalah norma
agama atau budaya-- akan ada gangguan jiwa yang beda-beda tiap
tempat dan hal tersebut akan membuat psikologi dan ilmu
kedokteran menjadi kacau.
Jadi, bila seseorang ingin diklasifikasi memiliki gangguan jiwa,
maka harus diukur dari keempat aspek tersebut. Contohnya ya:
orang yang di-diagnosa schizophrenia, atau yang sering orang Indonesia sebut dengan 'orang gila'.
i) Secara cognitive ia mengalami gangguan karena schizophrenia
membuatnya tidak dapat menggunakan kapasitas berpikirnya
secara maksimum; misalnya lihat dari kemampuan verbal atau
berbicaranya, sering tidak nyambung dengan lawan bicaranya,
bukan?
ii) Secara volition, pengidap schizophrenia juga mengalami
gangguan karena yang ia lakukan belum tentu kemauan dirinya
sebagai individu; misalnya ketika ia berjalan telanjang di tengah
jalan, pasti itu bukan karena dia tiba-tiba kepengen kan?
iii) Secara affective, pengidap schizophrenia mengalami gangguan
karena tidak memiliki kendali terhadap emosi yang ia miliki.
Seringkali, bukan, kita melihat pengidap schizophrenia di jalanan
yang tertawa sendiri padahal tidak ada stimulus yang lucu, atau
menangis padahal tidak ada yang sedih, atau marah walaupun tidak
ada pemicu amarah?
iv) Secara psychomotor, pengidap schizophrenia mengalami
gangguan karena ia tidak memiliki kendali atas tubuhnya. Seringkali
kita melihat pengidap schizophrenia melakukan hal-hal yang kita
anggap aneh, seperti bermandi di got dsb.
Contoh di atas mungkin ekstrim ya, tetapi kurang lebih itulah
ilustrasi untuk menunjukkan bagaimana suatu kondisi dapat
dikatakan/di-diagnosa sebagai gangguan jiwa. Yuk coba kita lihat,
apakah LGBT memenuhi kriteria tersebut!
i) Secara cognitive, LGBT mampu berpikir seperti rekan-rekan yang
heteroseksual. Mereka dapat mengikuti pendidikan dengan baik,
bekerja dengan optimal, dan tidak ada dampak terhadap cara
berpikir mereka.
ii) Secara volition, LGBT memiliki kendali terhadap apa yang ingin
mereka lakukan. Lapar? Ya mereka makan. Kepanasan? Ya mereka
akan nyalain kipas atau AC.
iii) Secara afektif, LGBT sama seperti rekan-rekan heteroseksual:
kalau sedih ya menangis, kalau senang tertawa.
iv) Secara psychomotor, LGBT bisa mengendalikan tubuhnya tanpa
harus ada bantuan.
Kesimpulan: LGBT sehat secara mental, dan tidak dapat dikatakan
sebagai gangguan jiwa.
Masih belum percaya dengan penjelasan saya? Oke. Ini bukti
ilmiahnya: setiap gangguan jiwa yang ada dinamai dengan istilah
yang tercantum dalam PPDGJ-IV (Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi IV) atau DSM-V
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th Edition).
Dulu, memang LGBT termasuk sebagai gangguan, namun karena
ilmu psikologi dan kedokteran semakin berkembang, dihapuslah dari keduanya setelah riviu ilmiah mendalam. Di PPDGJ, sudah dihapus
dari tahun 1993 oleh Departemen Kesehatan, dan di DSM sudah
dihapus tahun 1973 oleh American Psychiatric Association (APA). Bahkan, World Health Organization (WHO) menghapus LGBT dari
International Statistical Classification of Diseases and Related
Health Problems (ICD) pada tahun 1990.
Kesimpulannya? LGBT BUKAN PENYAKIT MENTAL ATAU
GANGGUAN JIWA!
2) LGBT itu TIDAK dapat ditularkan!
Miskonsepsi ini sebenarnya berakar dari poin 1), bahwa LGBT
adalah penyakit, sehingga dapat ditularkan. Sanggahan saya cukup
simpel ya: kalaupun premisnya benar bahwa LGBT adalah gangguan
jiwa, tetap saja salah anggapannya, karena gangguan jiwa bukanlah
penyakit yang dapat ditularkan.
Ketika ada teman anda depresi, apakah anda ikut tertular menjadi
depresi? Atau ketika anda dekat dengan pengidap schizophrenia,
apakah anda tiba-tiba menjadi 'gila'?
Atau ketika di dekat anda ada
pengidap Alzheimer's, apakah anda tiba-tiba pikun? Pasti jawaban
anda tidak. Gangguan jiwa akan terjadi karena adanya trigger, entah
biologis atau sosial, dan trigger atau pemicu ini unik di setiap orang,
sehingga tidak mungkin ditularkan.
Bukti 'ilmiah' yang sering digunakan untuk membuktikan bahwa
LGBT itu menular adalah fakta bahwa sekarang ini semakin banyak
kaum LGBT dibandingkan 10-20 tahun lalu. Hal ini menurut saya
dismisif kepada perkembangan dunia, dan ada 2 alasan penting
mengapa hal tersebut keliru:
a) Ekspansi populasi global terjadi dengan sangat cepat. Pada
tahun 1995, populasi dunia diperkirakan sekitar 5 milyar jiwa dan
pada tahun 2015, angka tersebut menjadi 7,5 milyar jiwa, yang
berarti dalam 20 tahun, populasi dunia bertambah 50%. Sebagai
konsekuensi, ya pasti ada LGBT yang dilahirkan di dalam tempo
waktu tersebut sehingga jumlahnya juga berbanding lurus dengan
perkembangan jumlah populasi manusia.
b) Attitude sosial kepada LGBT di berbagai belahan dunia menjadi
lebih positif dan terbuka, sehingga banyak individu LGBT menjadi
berani untuk come out dan mengekspresikan identitas diri mereka secara publik. Jadi, bukannya mereka sebelumnya straight (atau
'normal' seperti yang dikatakan banyak orang) dan berubah/
diubah/ditulari, mereka memang dari awal sudah mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari LGBT, hanya saja
sebelumnya mereka tidak terbuka kepada umum.
Kesimpulannya? LGBT BUKAN GANGGUAN JIWA DAN KALAUPUN
IYA, TIDAK DAPAT DITULARKAN!
kamu suka yg panjang-panjang ya?
mungkin 6-7
kalo scr fisik, suka yg younger dan kuruuussssss... entah kenapa, kalo lihat cowok kurus younger, 70 persen lgs suka haha
kalo yg nonfisik: baik, pengertian, etc
nah kalo itu, aku 50-50 hehehe..
u can really enjoy both
mau nanyak lagi lek,
Terlepas dari kasus IB, atau SJ
Menurut kau, kalau kau di posisi si artis, bagaimana kau menyikapi kasus hukum itu lek,
Sanggah atau pasrah, tentu keduanya punya konsikuensi,
Nah kira2 kau nyelesaikan masalah tu kayak mana lek?